Mengubah Tantangan Jadi Kesempatan: Jalan Keluar Untuk Bisnis Yang Mulai Stagnan

Dalam ekosistem usaha kecil menengan (UKM) dan startup di Indonesia, muncul fenomena stagnansi bisnis atau kondisi di mana pertumbuhan berhenti atau menyusut yang disebabkan oleh terbatasnya inovasi, hambatan operasional, serta kurangnya pemanfaatan data dan juga pengetahuan praktis. Fenomena ini sangat relevan di era digital saat ini, di mana pelaku usaha dituntut untuk cepat beradaptasi dengan perubahan teknologi, pasar, dan model bisnis. Beberapa temuan riset dan laporan terbaru di Indonesia menunjukkan: a. Menurut survei Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia (KUKM) tahun 2024, sekitar lebih dari 50% UKM menyatakan bahwa mereka mengalami ”pertumbuhan bisnis lambat” atau stagnan pada periode 2022-2023 karena terbatasnya akses ke pasar digital dan permodalan (data KUKM, 2024) b. Laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa meskipun penetrasi internet di Indonesia telah mencapai sekitar 77% (2023), hanya sekitar 34% UMKM yang memanfaatkan platform digital secara optimal. Hal ini menunjukkan gap antara akses teknologi dengan pemanfaatannya secara strategis. c. Riset akademik oleh Rina Sari & rekan (2023) menemukan bahwa dalam sampel UKM di Jakarta dan Jawa Barat, kurang dari 40% melakukan pembelajaran berkelanjutan (knowledge sharing) di dalam tim untuk meningkatkan respons terhadap tantangan pasar. d. Statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat turnover pegawai di sektor manufaktur ringan di Indonesia meningkat 2,4% tahun ke tahun (2023), dan salah satu faktor penyebab adalah stagnasi peluang pengembangan karir dan kurangnya budaya organisasi yang mendukung inovasi. Faktor-Faktor Penyebab Stagnansi Bisnis Beberapa faktor kunci yang menjadi penyebab stagnansi bisnis menurut literatur dan data lapangan: 1. Keterbatasan Pengetahuan dan Sharing Literatur menunjukkan bahwa budaya berbagi pengetahuan (knowledge sharing) secara informal atau formal berperan penting dalam inovasi dan kinerja organisasi. Misalnya, penelitian oleh Jamaludin Kurniawan et al. (2022) menunjukkan bahwa UKM yang menerapkan mekanisme sharing pengetahuan internal memiliki kemungkinan 1,6kali lebih besar untuk meluncurkan produk baru dalam 12 bulan dibanding yang tidak. 2. Rekrutmen dan Talenta yang Tidak Optimal Keterbatasan dalam informal recruitment atau penggunaan talenta muda dengan mindset problem-solving dapat menghambat kapasitas adaptasi bisnis. Penelitian oleh Sri Hartati (2023) pada UKM di Jawa Timur menunjukkan bahwa hanya 22% dari mereka yang mempekerjakan lulusan baru atau mahasiswa magang yang memiliki tugas eksplisit dalam inovasi proses bisnis, tetapi seringkali kegiatan tersebut tidak ter-monitor dengan baik. 3. Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasional Rendah Menurut penelitian oleh Ahmad Dwi Santoso & rekan (2023), organisasi yang tingkat komitmen organisasionalnya rendah (nilai rata-rata <3 pada skala 5) cenderung memiliki indeks turnover intention yang lebih tinggi. Budaya yang tidak mengutamakan pembelajaran, kolaborasi antar-fungsi, atau feedback loop membuat bisnis “terkunci” dalam rutinitas yang sama. 4. Kurangnya Akses ke Kasus Nyata dan Solusi Praktis Banyak UKM dan pemilik bisnis kecil menghadapi “masalah bisnis sehari-hari” seperti pemasaran digital, operasional produksi, pengembangan produk, maupun manajemen SDM, namun mereka sulit mendapatkan studi kasus praktis dan solusi langsung yang dapat diimplementasikan. Ini menjadi hambatan utama dalam melakukan perubahan atau skala bisnis. Dengan menjawab kebutuhan bisnis dan talenta masa depan, Liturtara hadir sebagai platform yang mempertemukan pemilik bisnis dan para pemecah masalah. Pemilik bisnis dapat mengirimkan tantangan nyata sebagai case-owner, dan para pelajar, mahasiswa, maupun profesional dapat belajar sekaligus berkontribusi melalui real case-study.